Jumat, 04 Mei 2012

Sepatu butut Nas

“Cari apa, Mbak, Bu…! Seragam SD, jilbab Marshanda atau jilbab Dian Pelangi…” tawar ibu pedagang selembut mungkin pada wanita muda-muda yang berseliweran. “Atau jilbab Syahrini juga ada. Boleh ditawar kok, Bu,” rayunya lagi tapi tak ada yang menggubris, sesekali ada yang nengok lalu membuang muka. Di blok lain, srang.. sreng.. suara gorengan dan irama piring dengan sendok yang beradu. Di sebelahnya lagi, ibu-ibu berwajah manyun berlipstik tebal sedang menggerundel lantaran pembeli yang tidak jadi beli, padahal sudah mencicipi banyak buah dukunya. Dan... suara-suara yang makin hiruk pikuk seakan mempertegas bahwa tempat ini adalah pasar, tempat bertemunya penjual dan pembeli. Tempat pantang sepi ketika ada matahari. Di pasar tradisional yang sedikit becek itu, Nas berjalan mencari barang yang ingin dibelinya. Tengok kanan dan kiri, lalu memandangi sepatu-sepatu yang dipajang para penjual. Ia pun berhenti ketika ada yang menarik matanya. Ia amati dari jejeran atas hingga bawah. Tapi dirasa, harganya tidak sesuai dengan uang yang ia punya. Uang dari hasil upah loper koran yang dikumpulkannya selama beberapa minggu. Sepatu yang dikenakannya sudah lama rusak. Ujungnya ngangap kayak orang ngorok. Sejak kelas sembilan sepatunya sudah menunjukkan gelagat rusak. Saat pendaftaran dan MOS SMA, ia memakai sandal jepit. Terang saja membuat semua pasang mata tertuju pada mata kakinya, tak terkecuali wakil ketua OSIS. “Kamu ini! Mau sekolah apa ngangon kambing?! Sekolah pakai sandal!” Bentak sang wakil ketua OSIS. Matanya yang melotot di balik kacamata minusnya yang tebal, membuat orang yang berhadapan makin kerut dan ciut. Dan lagi perawakan perempuan di hadapan Nas yang subur makmur dan sawo matang, makin mengesankan ke-"butoijo"-annya. Ih.. seram. Nas gemetaran, takut pada perempuan di depannya. Keringatnya pelan-pelan bercucuran. “DIGANTUNG DI MONAS KAK…!” Celetuk teman sekelas Nas diikuti gerr siswa lainnya. “Heh! Kalau ada orang ngomong itu dihargai, jangan diam saja. Batu!“ Sangutnya lagi, tangannya berkacak pinggang dengan gaya preman terminal. “I-iya, Kak. B-besok saya akan pakai sepatu Kak,“ ucap Nas terbata-bata, hanya kalimat itu yang ia lontarkan dengan mudahnya. Di balik itu... ah, sepatu darimana coba? Mau tidak mau, Nas harus mengelem sepatunya dengan lem kastol. Entah sudah berapa kali ia mengelemnya, mungkin dalam waktu seminggu dari sekarang ia akan mengelemnya lagi. Tak terbayang apa jadinya jika Nas mengenakan sandal lagi saat KBM dimulai. Sementara, ia duduk paling depan sendirian karena jumlah murid di kelas yang ganjil. Janji bapaknya membelikan sepatu tidak ia tagih, karena kata emaknya, uangnya sudah dipakai untuk membelikan sepatu Pipin yang juga sudah rusak. Nas memaklumi, ia malah sudah merasa cukup bisa melunasi uang administrasi dan seragam sekolah. Dulu keluarga Nas merupakan keluarga kecukupan. Mereka punya rumah yang layak, punya sepeda motor bebek dan punya sawah, meskipun tidak begitu luas. Hasrat bapaknya untuk memperbaiki perekonomian keluarga, telah mengubah semuanya. Rumah yang ditempati dan sawah sebagai lahan kerja sehari-hari dijual, uangnya dipakai untuk “santunan“ pada masyarakat supaya “sudi“ memilhnya di panggung Pilkades. Bapak ingin menjadi orang nomor satu di Karang Rowo. Emak tak setuju, tapi lama-lama kalah juga oleh kekuatan nafsu kuasa Ayah. Perasaan Emak saat itu khawatir, nasib keluarga seperti telur di ujung tanduk. Bagaimana tidak, harta satu-satunya yang dipunya hanya motor. “Lalu, kalau kalah mau tinggal di mana?“ tanya Emak waktu itu, cemas. “Tenang saja, Bune. Banyak do’a saja sama Gusti Allah, pasti Bapak menang.“ “Do’a-do’a, kalau cara yang dilakukan salah, yo podo wae!“ sewot Emak. Pipin yang ada di pojokan, ditarik Nas. Diajak main keluar, mencari buah kersen tetangga. Nas lakukan itu, agar Pipin tidak melihat perdebatan orang tuanya. Nas yang saat itu duduk di kelas delapan, takut ikut campur keputusan bapaknya. Juga takut pada bapaknya yang agak emosional. Kekhawatiran Emak nampaknya membuahkan hasil. Pak Sukirman kalah telak dari rivalnya. “Mau cari apa, Dik?!” Nas kepergok bapak penjual sepatu, retoris. “Yang ini berapa, Pak?!“ Nas menunjuk sepatu Hawk hitam, ia menegapkan badannya saat ada kuli panggul memanggul pisang kepok dan pisang raja di belakangnya. Bapak penjual menengok ke sepatu yang ditunjuk Nas. “Seratus tiga puluh?” Tahu harganya segitu, Nas mengerutkan kening. Sekalipun perang tawar, uang yang ia punya takkan cukup. Lagipula, Nas cuma lihat-lihat, siapa tahu lain waktu bisa beli. Nas permisi, tapi bapak penjual sepatu itu tidak menggubris karena sedang melayani pembeli lain. Nas berjalan lagi, lihat kanan kiri. Nah, itu ada... Nas masuk ke... ah rasanya tak pantas kalau disebut toko. Tempat yang kotor dan tidak rapi peletakan barang jualannya berupa sepatu bekas dan sol sepatu. Mata Nas mengedar berkeliling, mencari sepatu yang diinginkannya sambil sesekali memegang-megang. “Yang seperti ini ada, Pak? Tapi yang kecilan sedikit,“ ucap Nas tanpa permisi lebih dulu sambil menunjukkan sepatu Pantofel hitam. Orang tua yang tangannya tengah menjahit sepatu itu menghentikan aktivitasnya sejenak. Lalu, memilah-milah di tumpukan sepatu. “Ini gimana?” Orang tua yang memonyongkan rokok dimulutnya itu layani Nas. Diputar-putar sepatu itu dan dicobanya. Pas. “Yang kirinya mana, Pak?” Orangtua itu mencari lagi di tumpukan, tak lama kemudian mendapatkan dan mengelapnya dari debu. Nas mencoba kedua-duanya dan mencopot sepatu yang tadi dipakai sekolah, sepatu itu akan direhatkan selama-lamanya. Dimuseumkan. “Harganya berapa, Pak ?” Nas merogoh uang saku celananya. “Kasih tujuh ribu saja,“ orang tua itu membungkus sepatu dengan kantong plastik. Nas bernafas lega. Harga sepatu itu jauh dari perkiraannya, lebih murah. Ia menyodorkan uang satu lembar lima ribu dan dua lembar seribuan. Sisa uang bisa untuk membayar tunggakan LKS. * * * * * Matahari mengintip dunia dari timur, udara masih terasa sejuk meskipun kendaraan mulai berlalu lalang mengotori udara pagi. Nas berangkat sekolah berjalan menuju jalan yang dilewati angkot. Di jalan ia bertemu dengan tetangganya. “Dari mana, Bude?” Sapa Nas. “Ini jalan kaki, biar sehat.” Sahut tetangganya itu. ”Berangkat, Nas?” Pandangannya beralih ke kaki Nas. “Oya, Bude.“ “Sepatumu baru, ya? Bisa juga beli sepatu baru. Harganya berapa?“ Kulik perempuan yang di panggil "Bude" itu, meskipun tidak ada pertalian darah. “Ah, cuma tujuh ribu”. Bude itu mengangguk-angguk heran, kasihan atau takjub melihat sepatu semurah itu. Itu menjadi tanda tanya bagi Nas saat lihat ekspresi budenya yang tak mengenakkan hati. Tapi dienyahkan saja pikiran itu. Ia melangkah dan mencegat angkot. Di sekolah saat pertengahan jam istirahat, temannya juga berkomentar. “Tadi malam, kamu ngambek ya Nas? Sampai sepatumu disilet-silet.” “Oh, he-eh, memang aku lagi ngambek gara-garanya nggak dikawinin,” jayus Nas garing. Beberapa hari kemudian saat ia berangkat sekolah, ia ketemu lagi dengan budenya. Bude itu tersenyum kecil saat Nas menyapanya. Nas tahu dengan senyum itu. Senyum-senyum yang sering dilemparkan orang lain padanya. Senyum iba lantaran Nas yang ngotot sekolah meskipun pendapatan bapaknya sangat minim. Sebagai tukang ojek, harga BBM sangat berpengaruh sekali terhadap hasil yang didapat. Pendapatannya kini berkisar Rp. 20.000- Rp. 30.000 per hari, itu pun kalau ada penumpang yang mau naik. “Nanti pulang sekolah ke rumah bude ya, Nas? Ada titipan,“ pesan budenya. Nas mengerutkan kening. Titipan? “Insyaallah, Bude,“ jawab Nas langsung. Ia pun permisi takut terlambat. Seperti yang dijanjikan, sorenya Nas pun datang ke rumah budenya. Jaraknya lebih jauh dari Nas jika dihitung dari jalan raya. “Assalamualaikum...” ucap Nas. Tak ada balasan, hanya ucapan dari dalam, “ya... sebentar!!” “Masuk, Nas!” Nas pun masuk dan duduk di ruang tamu saat dipersilakan. “Lho, kamu nggak ngantar koran dulu? Tunggu sebentar, ya.“ Belum menjawab, Nas mendapati bude itu masuk ke dalam dan keluar lagi membawa sesuatu. “Ini buat kamu,” lanjutnya menyodorkan sesuatu. Nas bengong. “Dari Mas Edi, anak Bude. Kemarin Bude pas main ke rumahnya, Bude cerita tentang sepatumu yang harga segitu.. e-e dia malah langsung pergi ke toko sepatu untuk membelikan kamu,“ terangnya, memahami kebengongan Nas. Nas nengok-nengok, membuat budenya tersenyum. “Tenang... Nggak ada Pakde, ia sedang ke Kecamatan.“ Nas terharu melihat kebaikan bude. Padahal, suami wanita yang ada di hadapannya tak lain merupakan rival bapak Nas di ajang Pilkades. Nas pun ragu-ragu menerimanya. Bukan hanya warna sepatunya yang tidak sesuai dengan peraturan sekolah, tapi ia tidak akan bisa berkelit dari interogesi bapaknya jika ia memakai sepatu mahal itu. Lagi pula, bapaknya tidak suka segala sesuatu yang berhubungan dengan Pak Lurah. Benih kebencian bapaknya sudah ada sejak pemilihan bergengsi itu. Ditambah, bapaknya tidak tercatat sebagai penerima dana BLT, padahal jelas-jelas keluarga Nas keluarga miskin, bahkan paling miskin di desa. Rumah yang ditinggali saja milik orang yang berbaik hati mau meminjamkan sementara waktu, lantaran si empunya harus pindah kota karena suatu alasan –itu makin menyulut api amarah. “Terima saja, Nas. Ini rejeki kamu.“ Nas masih mikir, antara terima atau tidak. “Hayo,” bujuk bude sambil menganggukkan kepala. Nas menatap budenya itu. “Terima saja, uangmu dari loper koran belum tentu bisa membeli sepatu seperti ini.” Ucapan menyakitkan dari budenya membuat Nas untuk bilang, "Tidak!" “Ya sudah, saat ini mungkin kamu belum siap menerima. Lain kali kamu masih bisa mengambil sepatu ini kok.” Nas pamit pulang, kalau kelamaan keburu ketahuan bapaknya. * * * * * Air musholla kosong, lantaran sejak istirahat pertama terjadi pemadaman listrik bergilir. Oleh sebab itu, pulang sekolah ini, Nas sholat di musholla samping rumah Kang Idris, tempat ia mengambil koran sore. Tempat wudhu di sana berupa bak. Sampai di sana, Nas mengeringkan sepatu dan kaos kaki di bawah terik matahari, supaya bau dari kelembaban tidak mengedar kemana-mana. Tapi selesai sholat, sepatunya tidak ada. Tinggal sepasang kaos kaki yang terpisah letaknya dari sepatu. Nas garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, seolah menekan otaknya untuk berpikir rasional, mana mungkin sepatunya ada yang mau mencuri? Ia tanya pada orang yang sudah selesai memakai sepatu usai sholat, tapi yang ditanya tidak tahu. Mau tanya Kang Idris, tapi orangnya kan di dalam rumah... mana tahu, atau... inikah peringatan dari Allah karena Nas telah menolak rezeki dari-Nya lewat tangan bude? Nas sedikit menyesal. Ia pun berniat untuk mengambil sepatu di rumah budenya. Masalah warna, bisa ia cat dengan warna hitam, yang penting ia bisa tetap sekolah dengan baik dan mematuhi peraturan di dalamnya. Tapi... bagaimana dengan bapak? Pikir Nas, bapak pasti merasa dilecehkan oleh Pak Lurah, dikira tidak bisa membelikan sepatu. Padahal, Pak Lurah tidak tahu – menahu tentang sepatu itu. Nas menghentikan langkahnya di toko rokok, tidak jauh dari musholla. Ia bertanya pada si penjual rokok, yang ternyata juga tidak tahu. Mendadak ada yang menepuk punggung Nas. “Mas... tidak sengaja saya mendengar bahwa mas kehilangan sepatu ya?” Tanya orang itu. “Iya,” ucapnya lemah. Tangan orang itu merogoh sesuatu dari dalam karung. Nas heran. “Ini... sepatu yang Mas maksud?” “I-iya,” Nas terperangah. ”Ini sepatuku, tapi kok ada di kamu?” “Maaf, mas. Saya kira sepatu buangan, jadi saya pungut.” Nas menerimanya dalam geram. Ada emosi yang ingin ia muntahkan. Ia merasa dihina oleh tukang rongsokan. Toh, kenyataan seperti itu adanya. Sepatunya tipis, warna sedikit buram dan ada goresan-goresan silet. Setidaknya, itu lebih baik dari pada barang baik tapi menimbulkan ketidakbaikan. Nas tidak ingin melihat bapaknya menabuh genderang perang hanya karena sepasang sepatu. Meskipun sejujurnya, Nas sangat menginginkan sepatu itu. Akhirnya, Nas atau yang merupakan kependekan dari Anas itu tersenyum dan berterima kasih pada kejujuran tukang rongsok yang mau mengembalikan sepatunya. Sepatu butut Nas yang tak nahas. Muhammad Sholich Mubarok Syiar Humas Badaris BSI Jakarta Follow on Twitter @paramuda